Melayani Hidup dengan Perasaan

Anisa Hasan
4 min readMay 1, 2024

--

Aku menggigit sisa roti terakhir malam itu, mencoba acuh dari angin yang membawa wajah terkejut Kafi tadi untuk kegugupan di dalam perut.

Nafasku bergerak tertahan di antara aroma desau angin dan pabrik-pabrik jamu herbal rumahan di desa kami yang mulai beroperasi. Semua orang yang memiliki tanggal Senin sampai Sabtu itu selalu seperti orang yang memiliki serenade ketukan serentak dalam langkah seiras demi berjalan melalui satu barisan panjang untuk saling berlaku sibuk. Dan aku, berada di antaranya bersama akan kayuh sepeda tua yang ketika diajak menanjak naik di antara bukit ia akan serupa anak kecil yang menjerit hingga akhirnya menyerah untuk aku tuntun bersama naik. Kemudian kala jalan kembali lapang landai, aku kembali mengayuhnya sampai satu belokan kecil untuk kukayuh roda sepeda itu menjadi lebih perlahan. Di sana dapat kulihat pucuk-pucuk kecil bangunan sekolah kami tampak mini diapit di antara pohon cermai yang tahun ini tumbuh melebat. Lalu sejauh mata memandang ke depan masih tampak di mata buah-buahan amat ranum merona dengan warna yang begitu cantik, beberapa buah yang masak di atas pohon berserakan jatuh di 5 petak kosong lahan yang jadi halaman bangunan sekolah itu berdiri.

Halaman yang kadang kala berubah menjadi tempat belajar dan bermain anak-anak, seperti saat ini dengan murid kelas lainnya yang tengah memulai kelas olahraga menggunakan 5 petak halaman kecil sekolah dengan permainan bola tangan.

Beberapa muridku yang juga baru saja datang menyapa dalam seikat senyum pendek, menunduk, meminta bersalaman yang kutanggapi dengan segenap perasaan senang meski satu-satu nafasku masih kususun perlahan dari yang lerai berserakan. “Bapak hari ini kembali mengajar di kelas 4 kan? Pantunku masih belum Bapak nilai tahu.”

“Hari ini sudah, Kafi.” Aku balas jawab tersenyum. Kafi anak kelas 4 yang memang selalu supel dalam berbicara dan mengeluarkan isi kepalanya kapanpun dia ingin yang mana acap kali sering jadi sahut-sahutan antar teman sebayanya seperti saat sekarang dengan Alfi yang menyahut kecil, “Lagian sih siapa coba yang memang minggu kemarin mengumpulkan tugas sedikit terlambat sampai-sampai bel habis kelas berbunyi baru saja selesai satu bait?”

Aku menahan senyum melihat Kafi dan teman-temannya mulai adu kebenaran dari porsi pemahaman mereka masing-masing. Sampai kulihat beberapa guru lain yang melintas masuk ke dalam bangunan dengan sapaan dan cengiran menyaksikan Kafi berdebat acuh tak acuh.

Kulerai mereka segera, menggiringnya untuk masuk ke dalam kelas dan berpesan agar anak-anak tidak saling memicu keributan yang lebih serius nantinya. Sesaat mereka pergi, aku menghela nafas dan tertunduk menatap tali rantai sepeda tua miliku yang kembali putus untuk ke sekian kali di bulan ini. Hanya sekedar diberi pelumas oli saja pun tak bisa membuat rantai tua itu bisa diajak kerja sama menaiki bukit-bukit pedesaan untuk sampai ke sekolah.

Namun tampaknya untuk pilihan membeli baru pun hanya bisa jadi sekadar mimpi belaka sebab bila dituruti akan jadi sumber masalah keuangan di minggu ini dan kedepannya yang dapat menjadikan hidup berjalan di atas bara api dan seperti tak bernafas.

Aku membuka pelan pintu kelas kayu berpelitur coklat keemasan, kelas 4 yang tadi diisi oleh salah satunya murid yang bertegur dan sapa denganku, mereka seluruhnya terlihat tampak tenang melakukan kegiatan membaca melalui buku-buku paket yang aku coba sediakan minggu kemarin agar anak-anak dapat memperoleh kemudahan dalam ruang proses belajar secara mandiri maupun dalam diskusi bersama teman-temannya. Besar hati terenyuh bahwa anak-anak didikku memiliki kemauan dalam gaya belajar mandiri dan diskusi, hingga kuteruskan selanjutnya sambil memperagai dan demonstrasi untuk mengajarkan anak lebih dapat berpartisipasi langsung di dalamnya bersama teman-temannya. Akan tetapi malamnya dari kaus yang penuh dengan kotoran oli dan keringat bercampur, aku yang berhasil menjual sepeda tua itu pada ayah Kafi yang memang menginginkannya sebagai pecinta barang benda antik.

Hingga aku beranjak pulang, membantu ibuku yang senja usianya bangun dari beranda depan, aku melihat Kafi tercenung datang di depan rumah. Kusapa ia dalam senyum pendek, namun Kafi justru berputar balik dengan kayuhan sepedanya yang meroda cepat.

Aku memilin bibir gelas. Malamnya tetap berusaha menanggalkan kata demi kata ke dalam carikan kertas sisa-sisa anak didiku ulangan dengan bermodalkan cahaya pelita minyak yang tertiup banyak angin dimana asap pelitanya pergi dari atap rumah, kabur-kaburan bersama sejuknya malam hingga dari yang mampu teraba oleh mata adalah pucuk cahaya berpendar dari rumah-rumah desa di antara kilauan cahaya yang semakin mengecil. Aku menggigit sisa roti terakhir malam itu, mencoba acuh dari angin yang membawa wajah terkejut Kafi tadi untuk kegugupan di dalam perut. Aku tak ingin memikirkan besok jika saja kertas itu masih sempurna bersih.

***

--

--